Senin, 08 Oktober 2012

Identitas Esensial : Identitas Baru di Luar Bahasa


Oleh Yongky Gigih P.

Nothing outside language…
            Barangkali itu adalah sebuah pernyataan yang harus kita renungkan. Apakah sebuah realita itu dianggap tidak ada ketika tidak bisa dijelaskan dengan bahasa? Betapa otoriternya bahasa dengan karakter seperti itu. Dan sepertinya bahasa mempunyai kedudukan paling tinggi dalam menentukan identitas manusia. Kita tidak dapat keluar dari bahasa, kalaupun kita bisa keluar kita dianggap nothing. Jadi kita hanya sebagai objek yang diperlakukan bahasa (the death of subject-Foucault). Apakah kita benar-benar terkungkung dari penjara bahasa? Kita hanya bisa bergerak di dalam batas-batas bahasa tanpa pernah bisa melewatinya. Sepertinya Sartre telah menyadarkan kita bahwa manusia adalah ‘being for itself’. Kita mempunyai kesadaran bahwa kita ada dan saatnya kita berontak dari penjara bahasa.
            Provokator utamanya adalah Michel Foucault yang dalam pemikirannya mencoba untuk menggulingkan posisi subjek menjadi objek. Diikuti dengan Althusser dengan interpelasinya. Seakan kita diyakinkan bahwa kita memilih berdasarkan pilihan yang ada dan tidak bisa memilih di luar pilihan. Jika memilih di luar pilihan yang bahasa sediakan kita dianggap tidak ada.
            Saya coba mengembalikan posisi subjek yang mempunyai kuasa di luar bahasa. Subjek tidak bisa dijelaskan dan diidentifikasikan oleh bahasa secara utuh. Inilah identitas ideologis yang coba saya tawarkan. Dalam teori Jacques Lacan identitas kita sudah dikonstruk menjadi ‘the other’ sejak pertama kali mengalami level ‘mirror stage’. Proses bercermin diri dan melihat diri kita yang dikonstruk oleh ‘cermin’ dan kita setuju dengan identitas imajiner yang ideal itu. Sehingga lambat laun apa yang kita lihat dan apa kata yang melihat telah mengidentifikasikan diri kita yang sebenarnya bukan kita tapi sebuah bayangan cermin yang imajiner. Realitas dan sosial itu adalah tempat kita bercermin dan mengidentifikasikan diri kita. Ketika kita mulai menjadikan identitas kita dengan sebuah bahasa maka banyak identitas kita yang telah direduksi. Katanya Foucault, ‘The subject is subjected’. Subjek telah mensubjekkan dirinya melalui bahasa dan dari sinilah proses pereduksian besar-besaran nilai identitas oleh bahasa. Padahal sebenarnya kalau kita bisa menyadari nilai identitas kita lebih dari apa yang diidentifikasikan  oleh bahasa.
            Jacques Lacan menjelaskan sebuah proses konstruksi subjek dari mulai mirror stage, symbolic stage, sampai real order. Lacan mengatakan bahwa real order itu adalah identitas yang tidak mungkin. Tetapi sepertinya kata tidak mungkin itu ada batasnya. Real order adalah sebuah proses final dimana kita mendapatkan identitas yang ideal dan utuh. Sehingga tidak ada lagi lack, desire and demand. Inilah proses di mana kita menjadi subjek yang esensial dan bukan menjadi ‘the other’ lagi.
            Saya mengadopsi pemikiran Lacan tentang identitas subjek yang mengalami proses self constituted dan socially constructed dalam mengkonstruksi identitasnya. Kita memang harus mengalami step demi step itu tetapi kita jangan terhenti untuk mencapai step ideal diri kita.Perlu kita sadari bahwa identitas kita mulai dari awal telah dikonstruksi bahasa tetapi apakah selamanya bahasa bisa megkonstruk dan menjelaskan identitas kita? Lebih daripada itu. Bahasa telah mengekang pengetahuan kita akan identitas kita. Identitas kita memang bisa ditentukan oleh bahasa tetapi satu hal yang paling penting dan inti dari ideology ini adalah ‘tidak seluruh identitas kita’. Bahasa bisa mengkonstruk identitas kita tapi hanya sebagian kecil dari partikel identitas kita bukan seluruh identitas kita. Oleh karena itu jika kita menyerahkan identitas kita seluruhnya kepada otoritas bahasa kita hanya mengerti sebagian kecil dari identitas diri kita, tidak seluruhnya.
            Lalu kalau begitu siapakah kita? sebuah entitas yang bermakna? ya. Apakah maknanya? tidak bisa dijelaskan seutuhnya oleh bahasa. Jika dalam teori Saussure, tanda itu dibagi menjadi penanda dan petanda, dari sinilah kita bekerja. Kita adalah sebuah entitas (petanda) dimana entitas itu memiliki penanda-penanda yang begitu banyak sampai-sampai bahasa tidak dapat menjelasakan keseluruhan penanda kita.
            Dengan demikian arti sebuah makna identitas esensial adalah keseluruhan penanda dan makna yang berada dalam kesatuan entitas/identitas subjek yang membedakannya dari entitas-entitas yang lain. Mari kita melihat kembali perkataan Foucault ketika diwawancarai, ‘jangan tanya siapa aku dan jangan mengharapkan aku untuk berubah’. Dari pernyataan tersebut Foucault menyatakan bahwa identitas dirinya tidak pernah tetap dan maknanya selalu berubah-ubah, tertunda dan tidak pernah selesai. Karena apa? karena Foucoult terjebak dalam bahasa dan bahkan identitas Foucault direduksi oleh wacana-wacana yang dia buat sendiri. Identitas esensial tidak terjebak dalam batas-batas bahasa karena ia bisa melampaui batas-batas bahasa. Di sinilah subjek mulai tercipta. Dan apa yang diungkapkan Lacan tentang real order yang tidak mungkin itu telah terjawab dengan ideology esensial ini. Inilah identitas yang tetap dan ideal karena tidak tejebak dalam wacana sosial dan bahasa. Dan bagaimana anda mulai mendeskripsikan siapa anda? Saya bukan siapa-siapa menurut bahasa. Saya adalah saya. Saya adalah Yongky Gigih Prasisko. Salam…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman