Rabu, 10 Oktober 2012

Menjadi Manusia

Oleh : Yongky

            Manusia memiliki nilai esensi yang murni lahir dari entitas manusia. Nilai esensi manusia di dalam era modern yang serba komoditas dan mengatasnamakan ekonomi membuat kesadaran manusia lupa akan nilai esensinya. Apakah sebenarnya arti manusia? Manusia bukanlah objek dari kehidupan yang digerakkan oleh sebuah sistem produksi. Tetapi manusia adalah subjek yang menentukan cara produksi yang esensial. Manusia memerlukan sesuatu karena memang dia butuh, manusia melakukan sesuatu kareana dia suka, manusia bekerja karena dia berdedikasi pada pekerjaannya. Inilah sisi-sisi kemanusiaan manusia.
            Saya langsung menuju ke tataran praktis. Ketika kita berhubungan sosial antar sesama manusia, apakah yang mendasari hubungan tersebut? Kita perlu memikirkan sebuah kesadaran kita. Adakah sebuah entitas yang menghubungkan hubungan sosial kita? Jika kita menemukan sebuah entitas yang menghubungkan kita adalah sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar, hal inilah yang membuat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya. Sisi nilai kemanusiaan muncul ketika tidak ada representasi yang memediasi hubungan kita dengan orang lain. Ketika kita menyentuh sebuah realitas, sentuhan langsung tanpa perantara itulah yang disebut nilai esensi manusia. 
            Seseorang menjadi kehilangan sisi kemanusiaannya jika representasi yang adalah komoditas itu menjadi suatu pandangan yang membuat manusia terjebak dengan pandangan itu. Pandangan bahwa manusia itu akan kaya dan makmur jika dia bisa menghasilkan komoditas yang mempunyai nilai tukar. Sehingga semakin produktif dalam menghasilkan komoditas semakin makmurlah ia. Akankah kita terjebak dengan pandangan seperti itu? Kalau kita dengan pandangan itu maka kita telah digerakkan oleh sebuah sistem produksi komoditas. Komoditas menjadi hal utama yang kita kejar untuk menghasilkan kemakmuran, sehingga pandangan kita akan selalu menjurus kepada uang. Kita telah menjadi objek yang digerakkan oleh sistem bukan lagi menjadi subjek yang sadar.
            Kita juga harus bisa membedakan dengan tegas yang mana ilusi dan yang mana esensi. Kadang kita menjadi seorang schizophrenia ketika kita tidak bisa membedakannya, kita telah kehilangan kemampuan untuk menggerakkan diri kita sendiri. Sebuah ilusi adalah sebuah konstruksi sosial, atau sebuah angan-angan hasil dari sebuah konstruksi. Dia tidak datang secara alami tetapi datang dengan dihadirkan dengan berbagai perencanaan dan pembentukan nilai-nilai. Sedangkan esensi adalah sebuah entitas yang hadir secara natural tanpa sebuah dikonstruksi tetapi dialah yang mengkonstruksi. Esensi adalah sebuah entitas murni bukan entitas artificial atau hasil bentukan/konsrtruksi. Ilusi dan esensi ini yang membuat kita menjadi objek ataukah menjadi subjek? Nilai-nilai esensi manusia menjadikan manusia seutuhnya tetapi nilai ilusi menjadikan manusia menjadi mesin tanpa kesadaran.
            Dalam kehidupan modern yang serba individual dan materialis kita dituntut seakan-akan materi lah yang kita kejar dengan berusaha sekeras-kerasnya meskipun kita tidak suka dengan pekerjaannya. Ruang hidup kita seakan-akan memberikan porsi yang mendominasi pada segi ekonomi dan materi dengan mengesampingkan sisi-sisi humanis. Kita mengikuti pandangan ilusi tersebut bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang memiliki banyak materi atau uang. Kita berhubungan baik dengan seseorang karena ekonomilah yang melandasinya. Pandangan ilusi-ilusi tersebut membuat kita terjebak dengan yang namanya nilai uang. Padahal uang itu tidak berharga ketika kita tidak membuatnya berharga. Uang tidak lagi berharga ketika hubungan relasi sosial antar manusia dilanadasi oleh sisi-sisi kemanusiaan seperti kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai dan saling berbagi.
            Rasanya sulit untuk menemukan manusia yang seperti itu. Inilah cara pandang yang saya tawarkan kepada para pembaca. Kalau kita sulit menemukan, kenapa kita menutup kemungkinan untuk menemukannya pada diri kita. Dalam menjamah sebuah realitas sosial kita tidak memerlukan sebuah representasi, kita langsung memiliki akses dan kuasa untuk menjamahnya. Contohnya adalah ketika kita meminta maaf kepada seseorang, meminta maaflah secara manusia tanpa perantara/representasi apapun kecuali bahasa. Kita harus mulai mendasari hubungan sosial kita dengan orang lain dengan nilai-nilai esensi kemanusiaan. berinteraksi dengan seseorang karena kita memang ingin berinteraksi dengan orang tersebut. Kita berinteraksi dengan orang tersebut karena kita memang suka berinteraksi dengan orang tersebut.
            Inilah sisi-sisi kemanusiaan yang harus kita sadari dan aplikasikan untuk menjadi seorang manusia seutuhnya. Seorang manusia yang tidak digerakkan oleh sistem atau eksistensi apapun yang menguasainya. Nilai kebutuhan, kebahagiaan dan kenikmatan dalam menjalani hidup harus di dasari oleh sebuah esensi. Harus didasari oleh sebuah entitas yang bukan artificial tetapi sebuah entitas yang murni bukan fantasi. Pada saat itu juga ketika kita mulai menyadari sisi kemanusiaan ini kita tidak akan pernah mempunyai sebuah tuntutan yang dibuat oleh sosial tetapi secara natural tuntutan itu hadir. Kitalah seorang manusia yang utuh yang menjadi subjek utuh atas diri kita sendiri dan realitas sosial.

Senin, 08 Oktober 2012

Identitas Esensial : Identitas Baru di Luar Bahasa


Oleh Yongky Gigih P.

Nothing outside language…
            Barangkali itu adalah sebuah pernyataan yang harus kita renungkan. Apakah sebuah realita itu dianggap tidak ada ketika tidak bisa dijelaskan dengan bahasa? Betapa otoriternya bahasa dengan karakter seperti itu. Dan sepertinya bahasa mempunyai kedudukan paling tinggi dalam menentukan identitas manusia. Kita tidak dapat keluar dari bahasa, kalaupun kita bisa keluar kita dianggap nothing. Jadi kita hanya sebagai objek yang diperlakukan bahasa (the death of subject-Foucault). Apakah kita benar-benar terkungkung dari penjara bahasa? Kita hanya bisa bergerak di dalam batas-batas bahasa tanpa pernah bisa melewatinya. Sepertinya Sartre telah menyadarkan kita bahwa manusia adalah ‘being for itself’. Kita mempunyai kesadaran bahwa kita ada dan saatnya kita berontak dari penjara bahasa.
            Provokator utamanya adalah Michel Foucault yang dalam pemikirannya mencoba untuk menggulingkan posisi subjek menjadi objek. Diikuti dengan Althusser dengan interpelasinya. Seakan kita diyakinkan bahwa kita memilih berdasarkan pilihan yang ada dan tidak bisa memilih di luar pilihan. Jika memilih di luar pilihan yang bahasa sediakan kita dianggap tidak ada.
            Saya coba mengembalikan posisi subjek yang mempunyai kuasa di luar bahasa. Subjek tidak bisa dijelaskan dan diidentifikasikan oleh bahasa secara utuh. Inilah identitas ideologis yang coba saya tawarkan. Dalam teori Jacques Lacan identitas kita sudah dikonstruk menjadi ‘the other’ sejak pertama kali mengalami level ‘mirror stage’. Proses bercermin diri dan melihat diri kita yang dikonstruk oleh ‘cermin’ dan kita setuju dengan identitas imajiner yang ideal itu. Sehingga lambat laun apa yang kita lihat dan apa kata yang melihat telah mengidentifikasikan diri kita yang sebenarnya bukan kita tapi sebuah bayangan cermin yang imajiner. Realitas dan sosial itu adalah tempat kita bercermin dan mengidentifikasikan diri kita. Ketika kita mulai menjadikan identitas kita dengan sebuah bahasa maka banyak identitas kita yang telah direduksi. Katanya Foucault, ‘The subject is subjected’. Subjek telah mensubjekkan dirinya melalui bahasa dan dari sinilah proses pereduksian besar-besaran nilai identitas oleh bahasa. Padahal sebenarnya kalau kita bisa menyadari nilai identitas kita lebih dari apa yang diidentifikasikan  oleh bahasa.
            Jacques Lacan menjelaskan sebuah proses konstruksi subjek dari mulai mirror stage, symbolic stage, sampai real order. Lacan mengatakan bahwa real order itu adalah identitas yang tidak mungkin. Tetapi sepertinya kata tidak mungkin itu ada batasnya. Real order adalah sebuah proses final dimana kita mendapatkan identitas yang ideal dan utuh. Sehingga tidak ada lagi lack, desire and demand. Inilah proses di mana kita menjadi subjek yang esensial dan bukan menjadi ‘the other’ lagi.
            Saya mengadopsi pemikiran Lacan tentang identitas subjek yang mengalami proses self constituted dan socially constructed dalam mengkonstruksi identitasnya. Kita memang harus mengalami step demi step itu tetapi kita jangan terhenti untuk mencapai step ideal diri kita.Perlu kita sadari bahwa identitas kita mulai dari awal telah dikonstruksi bahasa tetapi apakah selamanya bahasa bisa megkonstruk dan menjelaskan identitas kita? Lebih daripada itu. Bahasa telah mengekang pengetahuan kita akan identitas kita. Identitas kita memang bisa ditentukan oleh bahasa tetapi satu hal yang paling penting dan inti dari ideology ini adalah ‘tidak seluruh identitas kita’. Bahasa bisa mengkonstruk identitas kita tapi hanya sebagian kecil dari partikel identitas kita bukan seluruh identitas kita. Oleh karena itu jika kita menyerahkan identitas kita seluruhnya kepada otoritas bahasa kita hanya mengerti sebagian kecil dari identitas diri kita, tidak seluruhnya.
            Lalu kalau begitu siapakah kita? sebuah entitas yang bermakna? ya. Apakah maknanya? tidak bisa dijelaskan seutuhnya oleh bahasa. Jika dalam teori Saussure, tanda itu dibagi menjadi penanda dan petanda, dari sinilah kita bekerja. Kita adalah sebuah entitas (petanda) dimana entitas itu memiliki penanda-penanda yang begitu banyak sampai-sampai bahasa tidak dapat menjelasakan keseluruhan penanda kita.
            Dengan demikian arti sebuah makna identitas esensial adalah keseluruhan penanda dan makna yang berada dalam kesatuan entitas/identitas subjek yang membedakannya dari entitas-entitas yang lain. Mari kita melihat kembali perkataan Foucault ketika diwawancarai, ‘jangan tanya siapa aku dan jangan mengharapkan aku untuk berubah’. Dari pernyataan tersebut Foucault menyatakan bahwa identitas dirinya tidak pernah tetap dan maknanya selalu berubah-ubah, tertunda dan tidak pernah selesai. Karena apa? karena Foucoult terjebak dalam bahasa dan bahkan identitas Foucault direduksi oleh wacana-wacana yang dia buat sendiri. Identitas esensial tidak terjebak dalam batas-batas bahasa karena ia bisa melampaui batas-batas bahasa. Di sinilah subjek mulai tercipta. Dan apa yang diungkapkan Lacan tentang real order yang tidak mungkin itu telah terjawab dengan ideology esensial ini. Inilah identitas yang tetap dan ideal karena tidak tejebak dalam wacana sosial dan bahasa. Dan bagaimana anda mulai mendeskripsikan siapa anda? Saya bukan siapa-siapa menurut bahasa. Saya adalah saya. Saya adalah Yongky Gigih Prasisko. Salam…

Kamis, 04 Oktober 2012

Dekonstruksi Nilai Postkolonialisme : Pertarungan Nilai Essenial dan Nilai Konstrukrif

Oleh : Yongky

          Semua nilai realitas adalah bentuk konstruksi sosial atau socially constructed. Nilai mempunyai satandart tersendiri dalam realitas dan nilai itu dikonstruksi berdasarkan episteme tiap rezim kebenaran. Hal yang sama juga terjadi pada saat zaman-zaman colonial. Rezim penjajah menerapkan nilai-nilai yang berlaku di tanah jajahannya. Mereka menerapakan nilai tersebut melalui apparatus negara dan undang-undang. Produksi nilai seperti itulah yang memperkuat tesis nilai konstruktif.
         
          Rezim of truth kolonial mengkonstruksi semua nilai kehidupan, nilai superior dan inferior, nilai baik dan buruk, nilai normal dan tidak normal. Dan masyarakat jajahannya mengamini nilai-nilai tersebut. Sehingga ada pernyataan bahwa orang-orang kulit putih adalah superior dan orang-orang oriental/pribumi adalah inferior. Nilai itu dikonstruksi untuk menindas bangsa-bangsa pribumi. Penjajahan bukan hanya secara fisik tetapi secara mental atau psikis. Kemudian mulai ada pengakuan nilai itu secara masal bahwa kaum penjajah adalah bangsa yang superior dan beradab.

          Muncullah kemudian pahlawan-pahlawan postcolonial yang mencoba untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang dikonstruksi oleh rezim kolonial. Mulai dari Edward Said sampai Spivak mulai mendekonstruksi nilai-nilai colonial melaui tulisan-tulisannya. Said yang menulis tentang orientalism berusaha menjelaskan bahwa para penjajah bukan hanya mendeskripsikan kaum pribumi dengan label-label mereka tetapi mereka juga membuat preskripsi tentang kaum pribumi. Preskripsi yang benilai mutlak yang berarti kaum pribumi akan selalu inferior dan tidak akan pernah bisa menyamai atau melampaui kaum superior. Dengan tulisan Edward Said itu maka nilai-nilai itu mulai didekonstruksi oleh orang-orang pribumi bekas jajahan dan menimbulkan rasisme baru. Serangan balik mulai dilancarkan sehingga menimbulkan sentiment-sentimen terhadap orang-orang kulit putih. Dan orang orang pribumi/oriental mulai mengkonstruk nilai-nilai untuk orang-orang kulit putih.

          Dari sini kita bisa melihat sebuah pertarungan nilai konstruktif antara bangsa yang terjajah dengan bangsa yang menjajah. Coba kita melihat kembali apakah nilai-nilai itu semuanya konstruktif atau adakah nilai-nilai esesnsial atau natural di dalam realitas dunia ini. Dalam studi akademik tidak akan pernah mengamini sebuah nilai esensial. Nilai esensial dianggap tidak ada karena semua nilai sifatnya relatif dan tidak ada makna pasti. Maknanya selalu tertunda tergantung konsep universal dan budaya masyarakat.

          Dalam pemikiran semacam ini saya mencoba untuk mendekonstruksi sebuah nilai. Benarkah semua nilai itu dikonstruksi oleh sosial? Atau ada nilai-nilai esensial yang diamini oleh banyak orang tanpa sebuah konstruksi sosial?

          Nilai esensial adalah sebuah nilai yang dimiliki oleh sebuah entitas yang mempunyai aura yang diakui oleh semua yang melihatnya. Pertanyaan sederhana yang coba saya munculkan adalah benarkah nilai cantik itu sebuah konstruksi sosial atau memang ada orang yang cantik secara natural jadi tanpa mengikuti konstruksi sosial nilai cantik kita menyatakan dia cantik. Menurut Frantz Fanon yang menyatakan bahwa orang-orang oriental begitu memuja sebuah superioritas orang kulit putih sehingga mereka mau menyerahkan segala-galanya demi dapat mempunyai pengalaman dengan ‘the whiteness’ yang dimiliki mereka. Mereka mempunyai semacam fantasi vertical. Ketika sudah mengalami ‘the whiteness’ dari orang kulit putih secara sosial mereka terangkat derajatnya. Mereka begitu bahagia ketika ada seorang kulit putih yang mencintainya. Itu menandakan bahwa mereka pantas dicintai orang kulit putih dan fantasi mereka membuat mereka mengamini bahwa mereka dibawah derajat orang kulit putih. Itulah sebuah fantasi nilai yang dikonstruksi oleh orang-orang kulit putih. Fantasi di sini berarti sebuah angan-angan bahwa mereka itu superior dan angan-angan itu dikonstruksi oleh orang-orang kulit putih. Coba kita lihat kembali apakah kecantikan orang kulit putih itu sebuah konstruksi sosial. Atau memang mereka cantik secara alami. Atau jika dilogikakan begini, orang kulit putih sebenarnya secara esesnsial, natural dan alami memang cantik dan konstruksi itu dasarnya adalah kecantikan alami tersebut. Jika memang mereka cantik secara konstruktif maka mereka tidak akan diamini setelah muncul pemikiran poskolonial. Coba kita tanya kepada diri kita masing-masing, setelah kita membaca pemikiran poskolonial apakah kita masih mengakui bahwa mereka cantik karena konstruksi atau memang cantik secara esensial?

          Apakah benar kita tidak bisa keluar dari nilai konstruksi sosial. Jika dilogikakan bahasa adalah sebuah pelabelan dan konstruksi bahasa itu secara sosial jadi bisakah kita keluar dari pemikiran kita keluar bahasa? sehingga kita bisa keluar darnilai konstruksi sosial?

          Kita seharusnya membuka ruang bagi pemikiran kita untuk sebuah nilai esensial. Setiap entitas memiliki aura yang tidak bisa dibahasakan. Dan aura bukanlah sebuah konstruksi sosial. Subjek yang memiliki nilai aura akan diamini oleh semua yang melihatnya. Orang yang memiliki aura kecantikan alami akan diamini bahwa dia cantik bagi setiap orang yang melihatnya. Orang yang superior secara esensial akan diamini oleh setiap orang yang mengenalnya. Tanpa menggunakan bahasa kita bisa mengenali nilai itu. Bahasa mengekang sebuah makna realitas. Dalam film bejudul parfum ada monolog Grenouille yang intinya berkata bahwa, “Aku mencium begitu banya bau harum di dunia ini. Dan bahasa tidak bisa mewakili bau harum yang aku cium, sehingga aku tidak bisa mengatakannya”. Artinya dimanakah nilai esensial itu berada? nilai esensial itu berada di luar bahasa sehingga kita tidak bisa membahasakannya. Dia berada dalam ruang yang tidak tersentuh bahasa dan hidup di dalam alam pikiran kita.

Laman