Jumat, 26 Agustus 2011

Sepucuk Surat Nesti

Libya,

Negeri yang kaya akan minyak dan di sanalah tempatku menempuh ilmu dan berjuang selama 4 tahun. Aku banyak membaca tentang orang yang berkuasa di Libya saat ini. Dialah orang yang kuanggap ayah ideologisku, Muammar Khadafi. Aku menganggapnya ayah karena aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi di kampung halamanku Indonesia kecuali kekasihku Nesti. Setidaknya aku mengakui Muammar Khadafi sebagai orang yang mempengaruhi pemikiran-pemikiranku terhadap dominasi dan supremasi dari dunia barat. Persatuan bangsa Arab adalah tujuan utama sang pemimpin yang membuatku terkesan.

Aku berkuliah di Al Fateh University di Tripoli selama 2,5 tahun. Faculty of Arts & Media adalah tempatku menuntut ilmu demi meraih gelar master ku. Setelah meraih gelar master dan beberapa prestasi aku masih ingin tinggal di negara ini. Alasan utama kenapa aku masih tinggal di sini adalah aku masih belum menuntaskan obsesiku. Obsesi untuk bertemu dengan sang Brotherly Leader of Libya, Muammar Khadafi.

Tapi apa daya yang bisa kuperbuat, negeri ini sedang dilanda konflik. Pemberontak dan pengkhianat rezim membentuk kubu oposisi demi menurunkan tahta sang pemimpin. Dengan terpaksa aku meninggalkan negeri Libya tanpa pencapaian atas obsesiku. Besok malam aku sudah berencana pulang ke Indonesia, bertemu dengan kekasihku yang telah cukup lama kutinggal. Aku tidak bisa tidur malam ini. Seminggu yang lalu Nesti kirim email yang kemudian ku print dan kusimpan di bawah bantalku. Aku sudah membaca surat itu bahkan berulang-ulang. Yang belum kulakukan adalah membalasnya. Aku memang sengaja tidak membalasnya untuk memberi kejutan kepada Nesti bahwa aku akan segera pulang kepadanya.

Keesokan malam aku sudah berada di Tripoli International Airport. Sekilas kumelihat siaran saluran TV Libya Alhurra, stasiun televisi milik pemberontak, yang menyiarkan bahwa kota Tripoli jatuh di tangan pemberontak dan rezim Muammar Khadafi akan segera runtuh. Meskipun aku belum bertemu sang kolonel apalagi bediskusi dengannya, setidaknya aku tetap berharap bahwa Muammar Khadafi akan membawa perubahan bagi konflik di Libya. Untuk kubu oposisi semoga mereka sadar bahwa bantuan NATO tidak gratis, emas hitam Libya begitu menggiurkan. Aku segera beranjak memasuki pesawat yang telah siap untuk terbang ke Indonesia.

Sesampainya di tempat duduk segala ingatan dan kenanganku tentang kampung halaman Indonesia serempak memasuki otakku. Ayah ibuku telah tiada tapi berkat kecerdasan dan kemampuanku aku sanggup besekolah tinggi. Aku mulai hidup sendiri sejak umur 20 tahun. Sejak saat itu sebenarnya aku sudah tidak ada gairah untuk melanjutkan hidup dan ingin segera menyusul ayah ibuku ke surga. Tapi pengaruh Nesti begitu kuat. Dialah yang menyemangatiku sampai aku kembali bangkit untuk menjalani hidup. Bahkan semangat untuk bersekolah lagi datang darinya. Kami berpacaran selama lima tahun lebih. Sosok Nesti bukan hanya sosok seorang kekasih bagiku tetapi sebagai sosok ayah ibuku yang hilang. Oleh karena itu aku tidak sanggup hidup lagi jika kehilangan dia. Begitupun dia, Nesti selalu setia dan sabar menungguku pulang ke Indonesia. Dia rajin mengirim email dan menghubungiku setiap minggu.

Kenangan dengan Nesti yang paling tidak bisa kulupakan dan selalu melekat di pikiranku adalah ketika aku mencoba untuk mengakhiri hidupku dengan obat-obatan. Aku teringat dia pernah berkata, “Jika kau ingin bunuh diri, pastikan aku orang terakhir yang kau lihat saat meregang nyawa.”. Jadi ketika aku berniat akan bunuh diri aku segera menghubunginya. Dia datang sendiri dengan membawa obat beracun. Aku bertanya kepadanya apa yang akan dia lakukan. Dia langsung menjawab, “Aku juga ingin merasakan apa yang akan kau rasakan, kau ingin bunuh diri senikmat apakah kematian itu.” Aku langsung mengurungkan niatku dan mulai memeluknya. Aku begitu sulit untuk kehilangan Nesti tetapi kenapa aku begitu mudah menginginkan kehilangan nyawaku sendiri.

Sejak saat itu Nesti begitu berharga bagi hidupku khususnya ketika aku mengidap suatu penyakit. Penyakit aneh dan tak kunjung sembuh. Aku terkadang melihat suatu kondisi yang berbeda dengan penglihatan orang lain. Kata dokter juga aku mempunyai khayalan yang luar biasa sehingga mempengaruhi kepribadianku. Dokter itu mengatakan jika aku ingin sembuh aku harus bisa mengenali dan memilah yang mana khayalanku dan yang mana kenyataan sebenarnya. Dokter itu juga mengatakan sesuatu yang membuatku ingin membunuhnya. Kuputuskan aku tidak akan menemui dokter itu lagi. Kemudian aku berpindah ke dokter yang lebih ahli. Hampir saja aku memukulnya karena perkataan yang dilontarkannya sama dengan dokter yang kutemui sebelumnya. Kupastikan aku tidak akan sembuh karena memang aku tidak sakit. Apa yang mereka sebut penyakit aku anggap nyaman dan tenteram jika terus- menerus mengidapnya. Nesti adalah juga dokter bagiku. Dia pernah berkata, “Jika dokter menganggap kau mengidap penyakit seharusnya dokter itu juga tahu bahwa penawarnya adalah aku.”. Begitu berharganya sosok Nesti dalam setiap permasalahan yang kuhadapi.

Aku tertidur dengan tenang dan perasaan tak sabar akan bertemu dengan Nesti. Aku akan segera pulang ke Indonesia. Negara kelahiranku dan kelahiran sang penyelamat hidupku. Sebuah suara telah membangunkan tidurku. Kupikir hanya aku saja yang mendengar suara itu tetapi semua orang di pesawat rupanya juga mendengarnya dan membuat mereka semua terbangun. Sesekali aku membaca surat dari Nesti. Aku tidak pernah bosan membaca stiap kata-katanya

“…. aku tidak akan berhenti berharap dan terus menunggu kedatanganmu untuk kembali pulang. Begitulah janjiku padamu. Dan kuharap kau juga segera pulang untuk memenuhi janjimu. Seperti yang selama ini kita harapkan, sepasang kekasih yang diikat oleh firman Tuhan. Maafkan jika belakangan ini aku sering mengkhawatirkanmu. Aku tidak tahu perasaanku ini selalu mengganggu tidurku. Sampai-sampai mimpi buruk selalu menghampiriku hampir setiap malam. Mimpi itu seakan membuat jarak kita semakin jauh. Tapi itu hanyalah bunga tidur. Aku percaya mimpi indah akan segera menghampiri kita di saat kita bertemu nanti. Semoga kita bisa terus bersama selamanya. Nesti”. Bait terakhir dari surat kekasihku yang ku baca berulang-ulang. Aku tetap duduk terdiam di dalam ruangan pesawat yang remang-remang. Aku melihat jam menunjukkan pukul 2 pagi. Pagi yang sangat melelahkan setelah bertahun-tahun aku berjuang dan menuntut ilmu demi mendapatkan gelar masterku. Sungguh tidak beruntung nasibku menuntut ilmu di negeri konflik tetapi akhirnya semuanya dapat kuselesaikan dengan ijasah di tangan kiri dan prestasi di tangan kanan. Hadiah yang sangat berharga sebelum aku.. sebelum aku.. kembali pulang. Aku beranjak dari tempat duduk, berjalan diantara beberapa orang, berniat untuk menyegarkan pikiran. Kemudian aku melihat seorang wanita yang sedang menangis. Aku hampiri wanita itu, “Sudah mbak jangan menangis, perasaan yang mbak rasakan sama dengan yang saya rasakan bahkan semua orang yang ada di sini juga merasakan hal yang sama. Kita hanya bisa berharap dan berdoa semoga keadaan dapat berubah.”. Wanita itu terus menangis tanpa berkata apapun. Aku mencoba berjalan menuju ruangan paling depan, kokpit pesawat. Kelihatannya pintunya tidak dikunci sehingga aku dapat membukanya. Di dalam ruangan aku melihat ada empat lelaki yang juga menangis. Aku bertanya kepada salah satu dari mereka, “Pak, apa keadaan ini sudah tidak dapat ditangani lagi? Apa semuanya sudah pasti?” .“Iya pak kami semua di sini sudah pasrah dan menyerah.” jawab laki-laki itu.

Kemudian aku keluar dari ruangan itu dan pergi ke ruangan lain. Di sepanjang jalan menuju ruangan aku melihat banyak orang berpelukan. Ada sepasang suami istri yang memeluk anaknya. Ada sekelompok wanita yang berpelukan sambil menangis. Sampai di ruangan yang terakhir pemandangannya tidak jauh berbeda. Kemudian aku kembali ke ruangan tempat dudukku semula. Aku ingin marah tetapi bukan saatnya. Akupun ingin berteriak sekencang-kencangnya tetapi tertahan karena aku hanya bisa meneteskan air mata. Hanya itu cara terakhir yang dapat kulakukan untuk mewakili perasaanku. Aku tahu bahwa aku pernah kehilangan semangat untuk hidup. Aku juga bahkan pernah kehilangan akal untuk mengakhiri hidupku. Cobaan tersulit itu semua pernah kualami tanpa air mata. Tetapi kenapa sekarang air mataku seakan tak bisa kuhalangi untuk terus menetes. Apa aku sudah kembali lemah lagi atau apa karena Nesti tidak ada di sampingku sekarang. Tidak, Nesti tetap ada disisiku setiap saat. Sosoknya tidak akan pernah hilang dalam ingatanku karena aku memang tidak mau menghilangkannya dan tidak mau kehilangannya. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku meneteskan air mata sedih dan kali ini air mataku tak bisa kutahan.

Aku kembali memandangi surat dari kekasihku Nesti dan ku baca sekilas. Aku berkata dalam hati, “Maafkan aku Nesti, aku tidak bisa memenuhi janjiku. Aku percaya akan ketulusan cintamu. Keinginan, harapan dan kesetiaan hatimu adalah segalanya yang membuatku bisa teguh dan kuat menghadapi ujian hidup. Aku selalu teringat akan mimpi yang kau tulis dalam suratmu. Mimpi yang sebenarnya juga menghampiriku hampir setiap malam. Mungkin kau masih belum tahu karena aku tidak sempat membalas suratmu yang terakhir dan semuanya sudah terlambat. Aku akan pulang tetapi tidak pulang kepadamu, tidak juga kepada rumah dan kampung halamanku tetapi yang pasti aku akan pulang, pulang kembali”. Setelah itu aku memejamkan mata mencoba untuk lebih menenangkan diri dari pengumuman 10 menit yang lalu. Pengumuman bahwa pesawat ini akan segera jatuh.

Dengan masih menggenggam surat dari Nesti dan sebuah surat dari laboratorium mengenai penyakitku. Mungkin sebaiknya aku mengakui penyakit yang dikatakan dokter itu supaya diriku tetap tenang. Ya aku mengidap penyakit schizophrenia dan apa yang dikatakan dokter itu yang membuatku marah tak terkendali adalah Nesti kekasihku sebenarnya dia tidak ada. Dokter itu mengatakan, “Jika kau ingin sembuh, bunuh khayalan sosok Nesti karena sebenarnya dia tidak ada, dia bukan kenyataan, dia adalah sosok khayalanmu lebih tepatnya kekasih khayalanmu.

Sabtu, 09 Juli 2011

Sosok Sang Penyelamat


Tatkala langit menyuarakan kegelisahan
Bumi, laut dan angin bersimbah ketakutan
Terbesit asa bertabur duka kepalsuan
Meratapi alunan nasib yang semakain menjerumuskan
Selamat atau diselamatkan…

Diujung timur berdiri sosok penunggang kuda
Yang berteriak lantang dan bersuara tajam
Wahai para pasukan pembawa perintah Tuhan
Berikanlah tangan dan hentakkan semangatmu
Sumber kekuatan Tuhan mengilhami perjuangan
Meresap ke dalam pori-pori yang membara
Bergetar aliran darah menyambut sabda
Menjadi pemicu bangkitnya kekuatan suci
Penyandang pesan dari anak-anakmu, saudara-saudaramu, keluargamu,
teman-temanmu atau bahkan musuh-musuhmu
Tanpa melihat siapa yang berbicara tapi rasakan sebuah makna
Serentak tapakkan kakimu, tegakkan kepalamu, busungkan dadamu
Saling rapatkan kekompakan
Bersumpah demi langit dan bumi, atas nama siang dan malam, bersama air
dan api
Menyatukan bulan, bintang dan hujan
Menyerang dengan barisan ombak sampai titika darah penghabisan
Demi sebuah keagungan yang abadi
Kemuliaan untuk seluruh umat manusia
Dan kedamaian untuk seluruh makhluk di bumi
Tanpa pandang bulu tumpas keserakahan, kejahatan dan kemunafikan
Begerak menghantam melaju dan menghempas
Barisan amanah tak takut mati
Setia serapah menghujam ketidakadilan
Marilah kita serempak mengobarkan satu jiwa
Di bawah tiang bendera yang berkibar
Satukan suara, jiwa dan raga
Lantangkan teriakan menyuarakan
Kemenangan atau kehancuran!


Di ujung sebelah barat duduk sesosok penguasa
Bertahta di kursi emas mencari mangsa
Wahai para prajurit perang
Marilah serentak angkat senjata dan rapatkan barisan
Kita lipatgandakan kekuatan
Musnahkan para pemberontak
Cabut nyawa siapapun yang melawan
Kita besar, kita kuat, kita berjaya
Tangan kita mampu menghancurkan kejahatan
Sarang-sarang musuh adalah target bola api kita
Tak ada yang mampu menandingi dahsyatnya serangan kita
Bahkan jika seluruh bangsa bersatu.. itu mustahil
Karena seluruh bangsa akan tunduk patuh pada kita
Pesan yang dibawa adalah kedamaian
Dan itu semua tercipta karena pertaruhan
Harus ada yang dikorbankan
Nyawa akan berarti jika dikorbankan untuk nyawa yang lebih besar
Demi keadilan yang dibangun di masa depan
Tanpa perlawanan, pemberontakan dan perselisihan
Bersama-sama kita ucapkan sumpah setia
Dan hormat abadi kepada bendera yang berkibar
Melantunkan nyanyian pengobar semangat
Menyertai darah-darah yang mendidih
Getaran nadi memuncak dengan cepat
Detakan jantung mengiringi langkah
Sambaran petir menjadi tanda
Gemuruh awan hitam menjadi saksi
akan kekuatan raksasa yang melangkah
Dalam hitungan 3 kita serempak bergerak
1! 2! 3!
Angkat tangan dan tunggalkan suara
Perang atau damai!



Ditengah-tengah perhelatan suci dan adidaya
Orang-orang tak berdaya mencari perlindungan
Mereka berdoa dan terus meratap
Hanya untuk menanti kedatangan
Sesosok penyelamat


Sosok yang mampu mendamaikan perang air dan api
Menyatukan kekuatan hitam dan putih
Mengenggam langit dan bumi dalam satu kepalan
Menjinakkan singa yang kelaparan
Dan menyelamatkan sekumpulan rusa dari ratusan serigala
Sosok yang hidup dalam ruang dan waktu yang tak terbatas
Dia turun bukan mendamaikan
Tapi dia akan datang untuk menyelesaikan
Tak dapat dipungkiri lagi
Semua orang mendambakan sosok yang telah lama ditunggu
Dialah..
Sang Nabi

Selasa, 05 Juli 2011

Pulang


“…. aku tidak akan berhenti berharap dan terus menunggu kedatanganmu untuk kembali pulang. Begitulah janjiku padamu. Dan ku harap kau juga segera pulang untuk memenuhi janjimu. Semoga kita bisa terus bersama selamanya… Nesty”. Bait terakhir dari surat kekasihku yang ku baca berulang-ulang. Aku duduk terdiam di dalam ruangan yang remang-remang. Ku lihat jam menunjukkan pukul 2 pagi. Ku pikir semua orang di ruangan ini masih tidur karena tidak ada suara sama sekali. Ku beranjak dari tempat duduk dan ku melihat seorang wanita yang sedang menangis. Ku hampiri wanita itu, “mbak kenapa menangis? Keadaan sudah tidak dapat dirubah mbak.”. Wanita itu terus menangis tanpa berkata apapun. Aku mencoba berjalan menuju ruangan paling depan. Kelihatannya pintunya tidak dikunci sehingga aku dapat membukanya. Di dalam ruangan ku lihat ada empat lelaki yang juga menangis. Ku tanya salah satu dari mereka, “Pak apa keadaan sudah tidak dapat ditangani lagi? Apa semuanya sudah pasti?” . “Iya dik kami semua di sini sudah pasrah dan menyerah.” Jawab laki-laki itu.

Kemudian aku keluar dari ruangan itu dan pergi ke ruangan lain. Di sepanjang jalan menuju ruangan aku melihat banyak orang berpelukan. Ada sepasang suami istri yang memeluk anaknya. Ada sekelompok wanita yang berpelukan sambil menangis. Sampai di ruangan yang ku tuju pemandangannya tidak jauh berbeda. Kemudian ku kembali ke ruangan tempat dudukku semula. Aku kembali memandangi surat dari kekasihku dan ku baca sekilas. Ku berkata dalam hati, “Maafkan aku Nesty, aku tidak bisa memenuhi janjiku. Aku akan pulang tetapi tidak pulang kepadamu.”. Setelah itu aku memejamkan mata mencoba untuk lebih menenangkan diri dari pengumuman 10 menit yang lalu. Pengumuman bahwa pesawat ini akan segera jatuh.

Jahitan di Kursi Tua


Menjahit kain dalam temaram yang lanjut
Jarummu kau simpan agar tak menusuk hati cucumu
Rajutan harapanmu selalu kau tunjukan melalui benang

Sampai kapan kau terus menjahit..

Kebayamu yang kusut tak kau tunjukkan pada anak-anakmu
Berjalanmu menandakan kau begitu sulit meninggalkan kasih sayangmu
Keriputmu adalah suatu tanda dari masa lalumu
Nafasmu begitu jelas menghampiri setiap langkah anak-cucumu

Sampai kapan kau duduk di kursi tua..

Rajutanmu telah meninggalkanmu
Ku yakin kau tak berharap sekilaspun
Setelah semua kasih yang kau tuangkan tumpah dan berlalu
Hanya dalam satu ungkapan..

Bu.. saya pamit..
Nek.. saya pamit..

Hanya usapan ikhlas yang sanggup kau sampaikan
Dengan menyimpan beribu tetesan air mata
untuk menyelesaikan kain rajutanmu..

Hampir seabad waktu kau telusuri
Hanya untuk menjahit di kursi tua

Tiap senja kau mengetuk pintu
Nak apa kau ada di rumah?
Tanpa jawaban
Kau mengetuk lagi dengan tongkatmu
Nak nenek bukakan pintu?
Tanpa suara
Kau duduk sepanjang malam menunggu anak-cucumu membukakan pintu
Sampai akhirnya pintu itu terbuka
Sekilas..

Lalu tertutup lagi
Kau lega karena kau telah melihat wajah anakmu yang merangkul cucumu



Genangan air hujan menerima tetesan air mata kasihmu
Kau kembali merajut jahitanmu
Sampai saat itu tiba
Bentakan kata dari anakmu
Pecahan piring dari cucumu
Kau punguti runtuhan kasihmu perlahan
Hingga kau berdarah karena jarum jahitanmu

Nek, sudahlah selesaikan jahitanmu..

Tapi kau merasa masih kuat menjahit
Kau rajut kembali jahitan yang tercerai-berai
Dengan sabar kau memulai dari awal
Perlahan dan perlahan..
Kau merajut dengan gemetar
Kursi tuamu pun sudah reyot
Pertanda kau harus segera berhenti
bukan hanya itu..
berhentilah karena jari-jarimu telah becucuran darah
Jarum itu telah melukaimu

Kau berkata..
“Jahitanku belum selesai
Aku akan berhenti setelah rajutanku menjadi sebuah kenangan utuh
Yang akan kubungkus hanya untuk anak-anakku
Hanya untuk cucu-cucuku”

Hingga akhirnya kursi tua itu telah menjatuhkanmu
Matamu masih berair
Dan jarum itu terjatuh ke tanah
Setetes darahmu menetes bersama jatuhnya
Dengan meninggalkan
Rajutanmu..
Jahitanmu..
Yang masih belum selesai..



(Setiap huruf kutulis dengan air mata, nenek maafkan aku, aku sangat merindukanmu walupun sudah terlambat..)

Bangunlah Ayah


Fajar telah menyingsing
Dan ayam sudah serempak berkokok
Di kota yang kau hidupkan dengan darahmu
Tapi kau telah dibungkam
Burung-burung telah berkhianat padamu
Mereka bertepuk tangan dan mulai bersorak-sorai melihat perhelatanmu

Aku tahu bahwa bebanmu bukan keluargamu tapi generasi penerusmu
Sarapanmu sampai kau tinggal untuk wasiatmu
Saat ini Tuhan memang sedang tidak berpihak padamu
Tapi aku yakin kepalan tanganmu mampu mengmbalikan kepercayaan Tuhan itu

Mereka hanya menginginkan hartamu ayah
Kau sudah mempunyai siapa yang kau cinta anak.. seperjuangan
Kau juga tahu apa yang harus kau lakukan.. melindunginya
Dan kau juga tahu sesuatu yang kau harapkan.. berjuang bersamanya

Ayah kau sudah lelah tapi kau masih tetap berjuang
Kau berkata kau akan mati sesuai kodratmu sebagai martir
Murid mungkin mampu berkhianat kepada sang guru
Tetapi sang ayah tidak akan pernah tega memakan anaknya

Mereka membuat cerita dongeng dengan berkedok angka 11
Seorang monster yang ingin dibunuh
Tetapi ternyata merekalah yang membuat mesin pembunuh itu
Kerajaannya mengobarkan semangat perjuangan hak individu
Dan kau berkata tegas “apakah ini adalah tanggal 1 april?”

Dalam diam kau merenung “inikah hasil perbuatanku”
“Aku tidak akan pernah memberikan racunku kepada anak ku walau setetes”
“Aku hanya meneteskan racun pada pengganggu anakku”
“Meskipun kau tidak sadar,
“Semesta telah membenciku tapi aku tidak mau dibenci anakku”
“Aku akan berjuang bersama anak-anakku”

Rumahmu telah hancur ayah dan mungkin tidak akan pernah lebur
Suatu ketika ketika mereka datang anak-anakmu pasti sadar pengorbananmu
Untuk siapa semangatmu
Dan alasan apa sehingga kau berbuat seperti ini

Ayah..

Aku menunggumu bangun di pagi yang cerah dengan anak-anakmu berada di pelukan hangatmu

(Sepucuk surat untuk ayahku, Muammar Khadafi)

Kamis, 12 Mei 2011

Naskah Teater : P.I.L.M.I.L.

http://www.ziddu.com/download/14961473/NaskahPILMIL.docx.html

Laman