Kamis, 08 November 2012

Doing (Cult)ural Studies: Hitler on (Cult)ural Studies Seminar

By Yongky

            Hail Hitler!
            Adolf Hitler, the president of Germany at once the general of Germany’s army, is just 155cm height. He has really funny moustache that can tickle people to laugh if he’s not president. I’m sure that the Nazi’s armies prefer laughing to hailing him if he’s not speaking. But what happens in reality? Most people recognize his greatness. The great Germany is the great Hitler. What makes him to be great? He’s not good looking person and small one. The system has made him to be the great person in Germany at that time.
            If we look Hitler and his greatness we will see how the Nazi’s armies bend on knees on him. We will see how Hitler is hailed everywhere in Germany at that time. According to biography, Hitler is not someone well educated but the only thing which is important is that he is a good orator. He can make people convince on his speech. Who is not quaking hearing him speak. The army will hail him absolutely so do people.
            Let’s look how this makes. In particular case such as ceremony, it is one of the more important things to make this. Hitler is placed in the higher level and he becomes the center of looking. Everyone who looks him must take his face up. Another thing is that Hitler will enter to the podium after the armies waiting so long. So the presence of Hitler is something looked forward. The people are being blind and just taking the speech for granted. When Hitler is speaking everyone is not allowed to speak but HAIL HITLER!
            We catch the point which is the system that makes Hitler to be great. The greatness of Hitler has hypnotized people to hail on him and to cult on him. Let see what happens in the seminar on Monday-Tuesday, 5-6 November 2012 held by Media and Cultural Studies program with Prof. Chua Beng Huat and Prof. Khrisna Sen as the speakers. The system of organizing the seminar is almost the same with the cult of Hitler.
            The system will be placed the speaker in the center of looking. So everyone there looks them as the center of truth. The center of looking has made sense that the speaker has become the only one speaking actively and the audience has become passive. The audience as if only allows to focus on the speaker not someone else. They will be the people hailing the speaker. But I think it is not the important thing. The second is that the audience does not have paper about what is talked by the speakers in the seminar. This will be the important effect that makes people such kind of hypnotizing. How does everyone become active if they just only listen what the speaker says. How does audience become critical if there is no description topic to criticize at least the writings. The blind audiences will lead them into the thought that the speaker is very diligent person. They don’t know that the system has made them blind. There is wise words said that teacher can teach you because the world has taught him first. In this case the speaker has understood the topic first but not the audience. One quotation that is also important from Prof. Khrisna Sen is that “According to psychology, adult can focus on something told only in 20 minutes.” She forgot the detail. Focus in 20 minutes by language he understands comprehensively, in this case language of his mother tongue. When speaker is speaking in English which not all the audience understands comprehensively, it is different case moreover  no paper will help. Nothing to say but hail speaker.
            This is what Gramsci calls hegemony. People are not aware that they are being colonized. Gramsci has the term common sense which is the values made by the oppressor to obey. This common sense always needs repression to maintain the values. People who will not bend on knees on the value will get punished. In this case Gramsci explains the repression ideologically. The values will be maintained cohesively not coercively. This will be called the cultural hegemony. No violence but attacking ideologically.
            Coming back to the seminar, the audience gets colonized by the system. The system is common sense imparted to the audience. The values are in the audience’s mind and these must be taken for granted. When I ask to my friend, ”Is there something strange during the seminar?” he said “nothing strange”. This will be an evidence that the system has made them blind. They are not aware that they are headed to hail on the speaker.
            The archetype of the system has been repeated in many different forms. The cult event of Hitler in ceremony reforms in the cult in seminar. These events become rituals that make transcendental relation between people and one true person.
            But on the other hand, I appreciate the events. Media and Cultural Studies program has successfully invited the important people in this field of study. I wish that the system would be better in making audience enlighted. These events are important to upgrade our knowledge and to share our idea with other people in other culture. I personally really thank to Prof. Khrisna in doing research on Indonesian media especially Indonesian film. Moreover she wants to know Indonesian film more from the audience’s references. This will be such kind of satire which says we as Indonesians should know much better than her. A part of stanza from Rendra’s poem will be the words to close this writing.

Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing
Diktat-diktat hanya boleh membeli metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
………
Kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa-desa
Mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
(Rendra-Sajak Sebatang Lisong)

Sang Penyambung Nyawa : Apresiasi Film Kamar 69


 Oleh : Yongky

           
Apa yang terjadi, terjadilah…
            Yang dia tahu Tuhan penyayang umatnya…
            Apa yang terjadi, terjadilah…
            Yang dia tahu hanyalah menyambung nyawa…


            Barangkali bait lagu Kupu-Kupu Malam tersebut bisa mewakili isi pesan yang ingin disampaikan dalam film Kamar 69. Film yang bercerita tentang sisi kehidupan seorang pelacur muda yang mengalami berbagai polemik kehidupan. Karena dia hanya membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya. Pandangannya menjauhkan dia dari sisi agama yang tidak mampu membuatnya lebih baik. Pertentangan batin semacam ini diwarnai dengan unsur personality disorder yang dialaminya dan yang dihadapinya tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.
            Ketika banyak orang menyalahkan seorang pelacur tidakkah semua itu berdasarkan pandangan mereka. Sudahkah mereka melihat dari sudut pandang si pelacurnya sendiri sebelum sampai pada tuduhan menyalahkan. Semua orang boleh menyalahkan asal mereka bisa membenahi apa yang dianggapnya salah. Seorang pelacur mempunyai pembenarannya sendiri atas pilihannya. Dan jika orang menganggapnya salah hal itu juga berdasarkan pembenarannya sendiri. Tidak ada yang salah kecuali kita yang membuatnya salah. Tidak ada yang benar kecuali kita yang memaknainya benar. Semua hal di dunia adalah nihil. Kitalah yang membuatnya berisi.
            Filma kamar 69 menyajikan sebuah cerita tentang sebuah makna kehidupan dari sisi seorang pelacur. Bahwa hidup itu bukanlah pilihan tetapi hidup itu memilih. Setiap pilihan harus bisa dipertanggungjawaban karena setiap pilihan memiliki resikonya masing-masing. Seseorang akan merugikan dirinya sendiri ketika dia menyerah atas pilihannya. Maka selesaikanlah apa yang sudah kamu mulai.
            Beberapa elemen internal dan external kehidupan dimainkan dalam film ini. Elemen yang dominan adalah beberapa personality disorder yang dimasukkan untuk membentuk karakter tokoh utama yaitu si pelacur. Salah satu kekuatan kuat pembentuk cerita adalah mengkonstruksi karakter yang kuat. Karakter yang kuat memperlihatkan bahwa suatu cerita digarap dengan matang. Karena untuk membentuk suatu karakter yang kuat dibutuhkan unsur-unsur yang cocok dan sinkron sehingga dari pondasi sampai atap karakter itu tersusun dari unsur-unsur yang berkualitas.

Scopophilia dan Voyeurism
            Berawal dari psikoanalisa Freud bahwa pikiran manusia terdiri dari kesadaran (conscious) dan bawah sadar (unconscious) yang kemudian dikembangkan menjadi bentuk alam bawah sadar manusia yang ditunjukkan melalui perilaku. Salah satu bentuk perilakunya adalah scopophilia yaitu suatu bentuk kesenangan mengintip sesorang. Kesenangan ini muncul karena alam bawah sadar yang menggerakkannya. Alam bawah sadar yang menekan seksualitas muncul dalam bentuk-bentuk lain. Karena seseorang tidak mampu untuk melakukan kesenangan seks misalnya maka keinginan seks itu akan ditekan dan disimpan dalam alam bawah sadar. Keinginan ini selalu berusaha untuk keluar dari tekanan tersebut dan suatu saat akan keluar melaui perilaku untuk memuaskan keinginan tersebut. Dan bentuk keinginan seks dalam perilaku tidak harus berhubungan seks tetapi perilaku lain yang bisa memuaskan hasrat seksnya salah satunya yaitu perilaku scopophilia.
            Warna perilaku scopophilia ini dimasukkan dalam karakter si laki-laki yang suka mengintip atau melihat dari jauh si pelacur. Menurut analisa psikologi si laki-laki tersebut memiliki hasrat seks yang terpendam dan ditunjukkan dengan perilaku mengintip. Si laki-laki berpelikaku seperti itu untuk memuaskan keinginan seksualnya yang ditekan dalam alam bawah sadarnya. Scopophilia juga bisa disebut sebagai sebuah kenikmatan seksual dengan melihat objek seksualnya tanpa diketahui bahwa objek seksualnya sedang diintip.
            Freud berpendapat bahwa kehidupan manusia dikontrol oleh dua jenis hasrat yaitu the life drive (Eros) dan death drive (thanatos). Scopophilia termasuk ke dalam hasrat life drife yang mengandung hasrat libido. Setiap tindakan manusia adalah tindakan pemenuhan akan hasrat tersebut. Tokoh laki-laki yang mengintip si pelacur dari jauh adalah sebuah tindakan yang bertujuan untuk memenuhi hasrat life drive nya. Ketika dia mengenal sosok si pelacur tersebut hasrat libido nya mulai muncul. Tindakan-tindakannya ketika melihat atau bertemu dengan si pelacur dikontrol oleh hasrat seksualnya. Beberapa adegan yang ditampilkan dalam film adalah si laki-laki yang melihat si pelacur dari jauh. Dia melihat si pelacur yang berada di dalam kostnya dari sudut tempat kost si laki-laki. Ada adegan ketika si pelacur sedang berjalan dan si laki-laki mengamatinya dari sudut warung. Adegan-adegan ini menunjukkan perilaku scopophilia si laki-laki dalam hubungannya dengan si pelacur. Si laki-laki mempunyai hasrat seksual yang berusaha untuk dipenuhinya. Dengan melakukan tindakan mengintip/mengamati si pelacur hasrat seksuanya bisa terpuaskan.

Sadomasochism
            Sadomasochism terdiri dari dua terminologi yaitu sadism dan masochism. Sadism adalah sebuah kenikmatan yang merupakan hasil dari akibat penderitaan, kesakitan, kekejaman dan penyiksaan. Kenikmatan ini diperoleh dengan melakukan tindakan sadistic terhadap lawannya. Masochism hampir sama pengertiannya dengan sadism namun berbeda posisi. Masochism cenderung bersifat pasif. Jadi seorang masochist adalah seseorang yang mengalami kenikmatan dari menerima penyiksaan, kesakitan dan kekejaman. Lalu kemudian muncul terminologi sadomasochism yang menurut psikologi termasuk ke dalam sexual disorder.
            Sebuah disorder berarti tindakan yang menyimpang dari batas normal. Psikologi memiliki ukuran normal tersendiri dalam memaknai sadomasochism sebagai sexual disorder. Karena berhubungan dengan seksual maka sadomasochism terjadi saat berhubungan seks dengan lawannya. Dalam berhubungan seks seorang sadomasochism melakukan tindakan penyiksaan terhadap lawan mainnya. Dia belum merasa puas jika lawan mainnya tidak menderita karena siksaannya. Seorang masochism juga bisa berada dalam posisi pasif. Dia mencapai kenikmatan seksnya ketika dia mengalami penyiksaan dari lawannya. Semakin merasa tersiksa maka kenikmatannya akan semakin memuncak.
            Dalam film Kamar 69 ada unsur sadomasochism yang coba dimunculkan. Ada adegan ketika si pelacur disewa oleh seorang pelanggan. Pelanggan tersebut berani membayar berkali lipat untuk menyewa si tokoh pelacur tersebut. Tanpa disadari oleh si tokoh pelacur bahwa pelanggannya adalah seorang sadomasochist mereka langsung pergi ke kamar. Terjadilah di sana sebuah praktik sadism yang dilakukan oleh si pelanggan. Dia menyiksa si pelacur selama berhubungan seks dengannya. Menurut analisa psikologi si pelanggan tersebut mempunyai sexual disorder. Dalam hubungan seks antara si pelanggan dan si pelacur tidak terjadi hubungan sadomasochism. Hubungan seks yang berarti hubungan antara sadist dan masochist. Hubungan seks antara si pelanggan dan si pelacur tersebut adalah hubungan antara sadist dan wanita normal. Sehingga yang mencapai kenikmatan bukanlah keduanya tetapi hanya si pelanggan tersebut. Si pelacur merasa kesakitan dan tidak mengalami kenikmatan atas penyiksaan si pelanggan. Sadism termasuk dalam death drive yaitu hasrat yang berhubungan dengan emosi negative seperti ketakutan, kemarahan dan kebencian. Pemuasan hasrat kemarahan dan kebencian si tokoh pelanggan tersebut ditunjukkan dengan bentuk praktik sadism terhadap si pelacur.

Nomor 69
            Segala sesuatu di dunia ini adalah tanda. Dan makna sebuah tanda tidak baku dan tetap tetapi bisa berbeda tergantung hubungannya dengan tanda yang lain. Begitulah menurut perspektif semiotika. Begitu juga dengan sebuah bahasa bahwa suatu makna itu tidak baku dan makna penuh diperoleh melalui hubungannya dengan makna yang lain. Dalam teori Saussure mengenai semiology bahwa tanda tersusun melalui dua unsur yaitu penanda dan petanda. Unsur yang membentuk tanda itu bersifat baku. Tetapi kemudian Roland Barthes mengembangkannya bahwa sebuah makna tanda tidak selalu baku karena di dalam penanda dan petanda ada unsur petanda lain/baru yang mempengaruhi makna tanda tersebut sehingga dia menyebutkan ada makna tanda denotasi dan konotasi. Denotasi cenderung kepana makna baku. Sedangkan dalam sistem tanda kedua yaitu konotasi petanda lain muncul sehingga dia menyebutnya sebagai mitologi.
            Memahami makna 69 akan terasa biasa jika kita memaknainya dalam standar kebakuan makna yaitu dua nomor 6 dan 9. Tetapi jika nomor 69 tersebut dimaknai secara mitologi maka maknanya bukan lagi hanya nomor belaka tetapi ada petanda lain yang membuatnya mempunyai makna baru. Nomor 69 adalah sebuah tanda yang terdiri dari penanda dan petanda. Penandanya adalah entitas 69 dan petandanya adalah konsep-konsep yang melekat di dalam entitas tersebut yaitu angka setelah 5 dan sebelum 7 yaitu 6 dan angka setelah 8 dan sebelum 10 yaitu 9. Menurut Barthes petanda tersebut adalah konsep yang berada dalam tahap denotasi. Ketika dalam tahap konotasi atau sistem tanda kedua maka petanda baru muncul untuk melengkapi makna tanda 69.
            Apakah sebenarnya mitos tanda 69 tersebut?. Tanda 69 memunculkan makna mitologi yaitu suatu posisi dalam berhubungan seks. Petanda barunya adalah konsep posisi seks yang berbentuk 69. Di dalam Kamasuta posisi ini disebutkan yaitu ketika pasangan seks meletakkan mulut dengan kelamin pasangannya. Posisi saling menindih dan mencium kelamin satu sama lain. Posisi 69, dalam bahasa Perancis disebut soixante-neuf, adalah posisi seksual di mana mulut dua orang terletak di dekat alat kelamin masing-masing, melakukan seks oral. Nomor 69 cenderung dimaknai sebagai posisi dalam berhubungan seks daripada dimaknai sebagai sebuah nomor yang menunjukkan posisi kamar di sebuah hotel. Mitos dalam nomor 69 adalah sebuah bentuk pemaknaan lain terhadap tanda. Makna yang cenderung tidak baku tetapi lebih dalam mencari sebuah makna tanda yang utuh dan tersembunyi dibaliknya.

Testimoni
            Saya melihat ada suatu kesatuan konsep ide yang matang dan utuh dari film Kamar 69. Elemen-elemen ide yang membangunya adalah suatu bentuk eksperimen dari pembuat ide. Memang dalam mengkonsep sebuah ide kita harus berani bereksperimen dengan elemen-elemen yang plural. Karena berani bereksperimen mennjukkan bahwa pertaruhan dan pertarungan sebuah ide muncul dalam penyajiannya kepada penonton. Penonton juga akan mengalami eksperimen ide-ide tersebut dan meresponnya dengan pendapat yang berbeda-beda. Sehingga membuat sebuah film menjadi lebih kompleks kari dimaknai dari berbagai arah yang berbeda.
            Dalam menyatukan elemen-elemen tersebut membutuhkan sebuah kecerdasan dari film maker dalam mengolahnya. Terkadang jika elemen-elemen tersebut tidak pas dalam mengolahnya maka yang terjadi adalah menghancurkan ide pokok atau gagasan. Karena sebuah elemen itu berawal dari tanah, pondsi, atap hingga aksesoris2 rumahnya. Jika dalam menyatukan elemen-elemen tersebut tidak pas maka akan menghancurkan bangunan rumah tersebut. Saya melihat ada sebuah keberhasilan dalam membangun kesatuan ide dalam film Kamar 69. Elemen-elemen seperti mental disorder, fenomena sosial dan permainan tanda adalah sebuah eksperimen ide yang dimasukkan dalam pergolakan antar karakter-karakter yang berbeda.
            Kuatnya karakter si pelacur juga di dukung oleh elemen-elemen yang menyertainya. Mental disorder memperkuat sosok pelacur yang dramatis dan ironis. Kehidupan pribadi dan sosialnya diwarnai dengan elemen-elemen yang membangun sosoknya sebagai seorang pelacur yang naas. Pergolakan batinnya dibentuk dari sudut pandang tokoh-tokohnya dari mulai pelanggan-pelanggannya, si laki-laki yang mengintip hingga si germo.
            Permainan tanda yang asik dengan mitos 69 menyempurnakan kesatuan ide cerita tentang fenomena prostitusi. Mitos yang merujuk kepada posisi dalam berhubungan seks menambah dramatis tentang sosok dibalik kamar 69. Permainan tanda ini juga menjadi penyelesaian akhir dari cerita yang ditampilkan dalam film Kamar 69. Dan memunculkan sosok sang penyambung nyawa di balik kamar 69. Sebuah bentuk finishing yang cemerlang.

Bersambung
(Kritikan film Kamar 69)


Rabu, 10 Oktober 2012

Menjadi Manusia

Oleh : Yongky

            Manusia memiliki nilai esensi yang murni lahir dari entitas manusia. Nilai esensi manusia di dalam era modern yang serba komoditas dan mengatasnamakan ekonomi membuat kesadaran manusia lupa akan nilai esensinya. Apakah sebenarnya arti manusia? Manusia bukanlah objek dari kehidupan yang digerakkan oleh sebuah sistem produksi. Tetapi manusia adalah subjek yang menentukan cara produksi yang esensial. Manusia memerlukan sesuatu karena memang dia butuh, manusia melakukan sesuatu kareana dia suka, manusia bekerja karena dia berdedikasi pada pekerjaannya. Inilah sisi-sisi kemanusiaan manusia.
            Saya langsung menuju ke tataran praktis. Ketika kita berhubungan sosial antar sesama manusia, apakah yang mendasari hubungan tersebut? Kita perlu memikirkan sebuah kesadaran kita. Adakah sebuah entitas yang menghubungkan hubungan sosial kita? Jika kita menemukan sebuah entitas yang menghubungkan kita adalah sebuah komoditas yang mempunyai nilai tukar, hal inilah yang membuat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya. Sisi nilai kemanusiaan muncul ketika tidak ada representasi yang memediasi hubungan kita dengan orang lain. Ketika kita menyentuh sebuah realitas, sentuhan langsung tanpa perantara itulah yang disebut nilai esensi manusia. 
            Seseorang menjadi kehilangan sisi kemanusiaannya jika representasi yang adalah komoditas itu menjadi suatu pandangan yang membuat manusia terjebak dengan pandangan itu. Pandangan bahwa manusia itu akan kaya dan makmur jika dia bisa menghasilkan komoditas yang mempunyai nilai tukar. Sehingga semakin produktif dalam menghasilkan komoditas semakin makmurlah ia. Akankah kita terjebak dengan pandangan seperti itu? Kalau kita dengan pandangan itu maka kita telah digerakkan oleh sebuah sistem produksi komoditas. Komoditas menjadi hal utama yang kita kejar untuk menghasilkan kemakmuran, sehingga pandangan kita akan selalu menjurus kepada uang. Kita telah menjadi objek yang digerakkan oleh sistem bukan lagi menjadi subjek yang sadar.
            Kita juga harus bisa membedakan dengan tegas yang mana ilusi dan yang mana esensi. Kadang kita menjadi seorang schizophrenia ketika kita tidak bisa membedakannya, kita telah kehilangan kemampuan untuk menggerakkan diri kita sendiri. Sebuah ilusi adalah sebuah konstruksi sosial, atau sebuah angan-angan hasil dari sebuah konstruksi. Dia tidak datang secara alami tetapi datang dengan dihadirkan dengan berbagai perencanaan dan pembentukan nilai-nilai. Sedangkan esensi adalah sebuah entitas yang hadir secara natural tanpa sebuah dikonstruksi tetapi dialah yang mengkonstruksi. Esensi adalah sebuah entitas murni bukan entitas artificial atau hasil bentukan/konsrtruksi. Ilusi dan esensi ini yang membuat kita menjadi objek ataukah menjadi subjek? Nilai-nilai esensi manusia menjadikan manusia seutuhnya tetapi nilai ilusi menjadikan manusia menjadi mesin tanpa kesadaran.
            Dalam kehidupan modern yang serba individual dan materialis kita dituntut seakan-akan materi lah yang kita kejar dengan berusaha sekeras-kerasnya meskipun kita tidak suka dengan pekerjaannya. Ruang hidup kita seakan-akan memberikan porsi yang mendominasi pada segi ekonomi dan materi dengan mengesampingkan sisi-sisi humanis. Kita mengikuti pandangan ilusi tersebut bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang memiliki banyak materi atau uang. Kita berhubungan baik dengan seseorang karena ekonomilah yang melandasinya. Pandangan ilusi-ilusi tersebut membuat kita terjebak dengan yang namanya nilai uang. Padahal uang itu tidak berharga ketika kita tidak membuatnya berharga. Uang tidak lagi berharga ketika hubungan relasi sosial antar manusia dilanadasi oleh sisi-sisi kemanusiaan seperti kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai dan saling berbagi.
            Rasanya sulit untuk menemukan manusia yang seperti itu. Inilah cara pandang yang saya tawarkan kepada para pembaca. Kalau kita sulit menemukan, kenapa kita menutup kemungkinan untuk menemukannya pada diri kita. Dalam menjamah sebuah realitas sosial kita tidak memerlukan sebuah representasi, kita langsung memiliki akses dan kuasa untuk menjamahnya. Contohnya adalah ketika kita meminta maaf kepada seseorang, meminta maaflah secara manusia tanpa perantara/representasi apapun kecuali bahasa. Kita harus mulai mendasari hubungan sosial kita dengan orang lain dengan nilai-nilai esensi kemanusiaan. berinteraksi dengan seseorang karena kita memang ingin berinteraksi dengan orang tersebut. Kita berinteraksi dengan orang tersebut karena kita memang suka berinteraksi dengan orang tersebut.
            Inilah sisi-sisi kemanusiaan yang harus kita sadari dan aplikasikan untuk menjadi seorang manusia seutuhnya. Seorang manusia yang tidak digerakkan oleh sistem atau eksistensi apapun yang menguasainya. Nilai kebutuhan, kebahagiaan dan kenikmatan dalam menjalani hidup harus di dasari oleh sebuah esensi. Harus didasari oleh sebuah entitas yang bukan artificial tetapi sebuah entitas yang murni bukan fantasi. Pada saat itu juga ketika kita mulai menyadari sisi kemanusiaan ini kita tidak akan pernah mempunyai sebuah tuntutan yang dibuat oleh sosial tetapi secara natural tuntutan itu hadir. Kitalah seorang manusia yang utuh yang menjadi subjek utuh atas diri kita sendiri dan realitas sosial.

Senin, 08 Oktober 2012

Identitas Esensial : Identitas Baru di Luar Bahasa


Oleh Yongky Gigih P.

Nothing outside language…
            Barangkali itu adalah sebuah pernyataan yang harus kita renungkan. Apakah sebuah realita itu dianggap tidak ada ketika tidak bisa dijelaskan dengan bahasa? Betapa otoriternya bahasa dengan karakter seperti itu. Dan sepertinya bahasa mempunyai kedudukan paling tinggi dalam menentukan identitas manusia. Kita tidak dapat keluar dari bahasa, kalaupun kita bisa keluar kita dianggap nothing. Jadi kita hanya sebagai objek yang diperlakukan bahasa (the death of subject-Foucault). Apakah kita benar-benar terkungkung dari penjara bahasa? Kita hanya bisa bergerak di dalam batas-batas bahasa tanpa pernah bisa melewatinya. Sepertinya Sartre telah menyadarkan kita bahwa manusia adalah ‘being for itself’. Kita mempunyai kesadaran bahwa kita ada dan saatnya kita berontak dari penjara bahasa.
            Provokator utamanya adalah Michel Foucault yang dalam pemikirannya mencoba untuk menggulingkan posisi subjek menjadi objek. Diikuti dengan Althusser dengan interpelasinya. Seakan kita diyakinkan bahwa kita memilih berdasarkan pilihan yang ada dan tidak bisa memilih di luar pilihan. Jika memilih di luar pilihan yang bahasa sediakan kita dianggap tidak ada.
            Saya coba mengembalikan posisi subjek yang mempunyai kuasa di luar bahasa. Subjek tidak bisa dijelaskan dan diidentifikasikan oleh bahasa secara utuh. Inilah identitas ideologis yang coba saya tawarkan. Dalam teori Jacques Lacan identitas kita sudah dikonstruk menjadi ‘the other’ sejak pertama kali mengalami level ‘mirror stage’. Proses bercermin diri dan melihat diri kita yang dikonstruk oleh ‘cermin’ dan kita setuju dengan identitas imajiner yang ideal itu. Sehingga lambat laun apa yang kita lihat dan apa kata yang melihat telah mengidentifikasikan diri kita yang sebenarnya bukan kita tapi sebuah bayangan cermin yang imajiner. Realitas dan sosial itu adalah tempat kita bercermin dan mengidentifikasikan diri kita. Ketika kita mulai menjadikan identitas kita dengan sebuah bahasa maka banyak identitas kita yang telah direduksi. Katanya Foucault, ‘The subject is subjected’. Subjek telah mensubjekkan dirinya melalui bahasa dan dari sinilah proses pereduksian besar-besaran nilai identitas oleh bahasa. Padahal sebenarnya kalau kita bisa menyadari nilai identitas kita lebih dari apa yang diidentifikasikan  oleh bahasa.
            Jacques Lacan menjelaskan sebuah proses konstruksi subjek dari mulai mirror stage, symbolic stage, sampai real order. Lacan mengatakan bahwa real order itu adalah identitas yang tidak mungkin. Tetapi sepertinya kata tidak mungkin itu ada batasnya. Real order adalah sebuah proses final dimana kita mendapatkan identitas yang ideal dan utuh. Sehingga tidak ada lagi lack, desire and demand. Inilah proses di mana kita menjadi subjek yang esensial dan bukan menjadi ‘the other’ lagi.
            Saya mengadopsi pemikiran Lacan tentang identitas subjek yang mengalami proses self constituted dan socially constructed dalam mengkonstruksi identitasnya. Kita memang harus mengalami step demi step itu tetapi kita jangan terhenti untuk mencapai step ideal diri kita.Perlu kita sadari bahwa identitas kita mulai dari awal telah dikonstruksi bahasa tetapi apakah selamanya bahasa bisa megkonstruk dan menjelaskan identitas kita? Lebih daripada itu. Bahasa telah mengekang pengetahuan kita akan identitas kita. Identitas kita memang bisa ditentukan oleh bahasa tetapi satu hal yang paling penting dan inti dari ideology ini adalah ‘tidak seluruh identitas kita’. Bahasa bisa mengkonstruk identitas kita tapi hanya sebagian kecil dari partikel identitas kita bukan seluruh identitas kita. Oleh karena itu jika kita menyerahkan identitas kita seluruhnya kepada otoritas bahasa kita hanya mengerti sebagian kecil dari identitas diri kita, tidak seluruhnya.
            Lalu kalau begitu siapakah kita? sebuah entitas yang bermakna? ya. Apakah maknanya? tidak bisa dijelaskan seutuhnya oleh bahasa. Jika dalam teori Saussure, tanda itu dibagi menjadi penanda dan petanda, dari sinilah kita bekerja. Kita adalah sebuah entitas (petanda) dimana entitas itu memiliki penanda-penanda yang begitu banyak sampai-sampai bahasa tidak dapat menjelasakan keseluruhan penanda kita.
            Dengan demikian arti sebuah makna identitas esensial adalah keseluruhan penanda dan makna yang berada dalam kesatuan entitas/identitas subjek yang membedakannya dari entitas-entitas yang lain. Mari kita melihat kembali perkataan Foucault ketika diwawancarai, ‘jangan tanya siapa aku dan jangan mengharapkan aku untuk berubah’. Dari pernyataan tersebut Foucault menyatakan bahwa identitas dirinya tidak pernah tetap dan maknanya selalu berubah-ubah, tertunda dan tidak pernah selesai. Karena apa? karena Foucoult terjebak dalam bahasa dan bahkan identitas Foucault direduksi oleh wacana-wacana yang dia buat sendiri. Identitas esensial tidak terjebak dalam batas-batas bahasa karena ia bisa melampaui batas-batas bahasa. Di sinilah subjek mulai tercipta. Dan apa yang diungkapkan Lacan tentang real order yang tidak mungkin itu telah terjawab dengan ideology esensial ini. Inilah identitas yang tetap dan ideal karena tidak tejebak dalam wacana sosial dan bahasa. Dan bagaimana anda mulai mendeskripsikan siapa anda? Saya bukan siapa-siapa menurut bahasa. Saya adalah saya. Saya adalah Yongky Gigih Prasisko. Salam…

Laman