Oleh Yongky Gigih P.
Nothing
outside language…
Barangkali itu adalah sebuah
pernyataan yang harus kita renungkan. Apakah sebuah realita itu dianggap tidak
ada ketika tidak bisa dijelaskan dengan bahasa? Betapa otoriternya bahasa
dengan karakter seperti itu. Dan sepertinya bahasa mempunyai kedudukan paling
tinggi dalam menentukan identitas manusia. Kita tidak dapat keluar dari bahasa,
kalaupun kita bisa keluar kita dianggap nothing. Jadi kita hanya sebagai objek
yang diperlakukan bahasa (the death of subject-Foucault). Apakah kita
benar-benar terkungkung dari penjara bahasa? Kita hanya bisa bergerak di dalam
batas-batas bahasa tanpa pernah bisa melewatinya. Sepertinya Sartre telah
menyadarkan kita bahwa manusia adalah ‘being for itself’. Kita mempunyai
kesadaran bahwa kita ada dan saatnya kita berontak dari penjara bahasa.
Provokator utamanya adalah Michel
Foucault yang dalam pemikirannya mencoba untuk menggulingkan posisi subjek
menjadi objek. Diikuti dengan Althusser dengan interpelasinya. Seakan kita
diyakinkan bahwa kita memilih berdasarkan pilihan yang ada dan tidak bisa
memilih di luar pilihan. Jika memilih di luar pilihan yang bahasa sediakan kita
dianggap tidak ada.
Saya coba mengembalikan posisi
subjek yang mempunyai kuasa di luar bahasa. Subjek tidak bisa dijelaskan dan
diidentifikasikan oleh bahasa secara utuh. Inilah identitas ideologis yang coba
saya tawarkan. Dalam teori Jacques Lacan identitas kita sudah dikonstruk
menjadi ‘the other’ sejak pertama kali mengalami level ‘mirror stage’. Proses
bercermin diri dan melihat diri kita yang dikonstruk oleh ‘cermin’ dan kita
setuju dengan identitas imajiner yang ideal itu. Sehingga lambat laun apa yang
kita lihat dan apa kata yang melihat telah mengidentifikasikan diri kita yang
sebenarnya bukan kita tapi sebuah bayangan cermin yang imajiner. Realitas dan
sosial itu adalah tempat kita bercermin dan mengidentifikasikan diri kita.
Ketika kita mulai menjadikan identitas kita dengan sebuah bahasa maka banyak
identitas kita yang telah direduksi. Katanya Foucault, ‘The subject is
subjected’. Subjek telah mensubjekkan dirinya melalui bahasa dan dari sinilah
proses pereduksian besar-besaran nilai identitas oleh bahasa. Padahal
sebenarnya kalau kita bisa menyadari nilai identitas kita lebih dari apa yang
diidentifikasikan oleh bahasa.
Jacques Lacan menjelaskan sebuah
proses konstruksi subjek dari mulai mirror stage, symbolic stage, sampai real
order. Lacan mengatakan bahwa real order itu adalah identitas yang tidak
mungkin. Tetapi sepertinya kata tidak mungkin itu ada batasnya. Real order
adalah sebuah proses final dimana kita mendapatkan identitas yang ideal dan
utuh. Sehingga tidak ada lagi lack, desire and demand. Inilah proses di mana
kita menjadi subjek yang esensial dan bukan menjadi ‘the other’ lagi.
Saya mengadopsi pemikiran Lacan
tentang identitas subjek yang mengalami proses self constituted dan socially
constructed dalam mengkonstruksi identitasnya. Kita memang harus mengalami step
demi step itu tetapi kita jangan terhenti untuk mencapai step ideal diri
kita.Perlu kita sadari bahwa identitas kita mulai dari awal telah dikonstruksi
bahasa tetapi apakah selamanya bahasa bisa megkonstruk dan menjelaskan
identitas kita? Lebih daripada itu. Bahasa telah mengekang pengetahuan kita
akan identitas kita. Identitas kita memang bisa ditentukan oleh bahasa tetapi
satu hal yang paling penting dan inti dari ideology ini adalah ‘tidak seluruh
identitas kita’. Bahasa bisa mengkonstruk identitas kita tapi hanya sebagian
kecil dari partikel identitas kita bukan seluruh identitas kita. Oleh karena
itu jika kita menyerahkan identitas kita seluruhnya kepada otoritas bahasa kita
hanya mengerti sebagian kecil dari identitas diri kita, tidak seluruhnya.
Lalu kalau begitu siapakah kita?
sebuah entitas yang bermakna? ya. Apakah maknanya? tidak bisa dijelaskan
seutuhnya oleh bahasa. Jika dalam teori Saussure, tanda itu dibagi menjadi
penanda dan petanda, dari sinilah kita bekerja. Kita adalah sebuah entitas
(petanda) dimana entitas itu memiliki penanda-penanda yang begitu banyak
sampai-sampai bahasa tidak dapat menjelasakan keseluruhan penanda kita.
Dengan demikian arti sebuah makna
identitas esensial adalah keseluruhan penanda dan makna yang berada dalam
kesatuan entitas/identitas subjek yang membedakannya dari entitas-entitas yang
lain. Mari kita melihat kembali perkataan Foucault ketika diwawancarai, ‘jangan
tanya siapa aku dan jangan mengharapkan aku untuk berubah’. Dari pernyataan
tersebut Foucault menyatakan bahwa identitas dirinya tidak pernah tetap dan
maknanya selalu berubah-ubah, tertunda dan tidak pernah selesai. Karena apa?
karena Foucoult terjebak dalam bahasa dan bahkan identitas Foucault direduksi
oleh wacana-wacana yang dia buat sendiri. Identitas esensial tidak terjebak
dalam batas-batas bahasa karena ia bisa melampaui batas-batas bahasa. Di
sinilah subjek mulai tercipta. Dan apa yang diungkapkan Lacan tentang real
order yang tidak mungkin itu telah terjawab dengan ideology esensial ini.
Inilah identitas yang tetap dan ideal karena tidak tejebak dalam wacana sosial
dan bahasa. Dan bagaimana anda mulai mendeskripsikan siapa anda? Saya bukan
siapa-siapa menurut bahasa. Saya adalah saya. Saya adalah Yongky Gigih
Prasisko. Salam…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar