Kamis, 04 Oktober 2012

Dekonstruksi Nilai Postkolonialisme : Pertarungan Nilai Essenial dan Nilai Konstrukrif

Oleh : Yongky

          Semua nilai realitas adalah bentuk konstruksi sosial atau socially constructed. Nilai mempunyai satandart tersendiri dalam realitas dan nilai itu dikonstruksi berdasarkan episteme tiap rezim kebenaran. Hal yang sama juga terjadi pada saat zaman-zaman colonial. Rezim penjajah menerapkan nilai-nilai yang berlaku di tanah jajahannya. Mereka menerapakan nilai tersebut melalui apparatus negara dan undang-undang. Produksi nilai seperti itulah yang memperkuat tesis nilai konstruktif.
         
          Rezim of truth kolonial mengkonstruksi semua nilai kehidupan, nilai superior dan inferior, nilai baik dan buruk, nilai normal dan tidak normal. Dan masyarakat jajahannya mengamini nilai-nilai tersebut. Sehingga ada pernyataan bahwa orang-orang kulit putih adalah superior dan orang-orang oriental/pribumi adalah inferior. Nilai itu dikonstruksi untuk menindas bangsa-bangsa pribumi. Penjajahan bukan hanya secara fisik tetapi secara mental atau psikis. Kemudian mulai ada pengakuan nilai itu secara masal bahwa kaum penjajah adalah bangsa yang superior dan beradab.

          Muncullah kemudian pahlawan-pahlawan postcolonial yang mencoba untuk mendekonstruksi nilai-nilai yang dikonstruksi oleh rezim kolonial. Mulai dari Edward Said sampai Spivak mulai mendekonstruksi nilai-nilai colonial melaui tulisan-tulisannya. Said yang menulis tentang orientalism berusaha menjelaskan bahwa para penjajah bukan hanya mendeskripsikan kaum pribumi dengan label-label mereka tetapi mereka juga membuat preskripsi tentang kaum pribumi. Preskripsi yang benilai mutlak yang berarti kaum pribumi akan selalu inferior dan tidak akan pernah bisa menyamai atau melampaui kaum superior. Dengan tulisan Edward Said itu maka nilai-nilai itu mulai didekonstruksi oleh orang-orang pribumi bekas jajahan dan menimbulkan rasisme baru. Serangan balik mulai dilancarkan sehingga menimbulkan sentiment-sentimen terhadap orang-orang kulit putih. Dan orang orang pribumi/oriental mulai mengkonstruk nilai-nilai untuk orang-orang kulit putih.

          Dari sini kita bisa melihat sebuah pertarungan nilai konstruktif antara bangsa yang terjajah dengan bangsa yang menjajah. Coba kita melihat kembali apakah nilai-nilai itu semuanya konstruktif atau adakah nilai-nilai esesnsial atau natural di dalam realitas dunia ini. Dalam studi akademik tidak akan pernah mengamini sebuah nilai esensial. Nilai esensial dianggap tidak ada karena semua nilai sifatnya relatif dan tidak ada makna pasti. Maknanya selalu tertunda tergantung konsep universal dan budaya masyarakat.

          Dalam pemikiran semacam ini saya mencoba untuk mendekonstruksi sebuah nilai. Benarkah semua nilai itu dikonstruksi oleh sosial? Atau ada nilai-nilai esensial yang diamini oleh banyak orang tanpa sebuah konstruksi sosial?

          Nilai esensial adalah sebuah nilai yang dimiliki oleh sebuah entitas yang mempunyai aura yang diakui oleh semua yang melihatnya. Pertanyaan sederhana yang coba saya munculkan adalah benarkah nilai cantik itu sebuah konstruksi sosial atau memang ada orang yang cantik secara natural jadi tanpa mengikuti konstruksi sosial nilai cantik kita menyatakan dia cantik. Menurut Frantz Fanon yang menyatakan bahwa orang-orang oriental begitu memuja sebuah superioritas orang kulit putih sehingga mereka mau menyerahkan segala-galanya demi dapat mempunyai pengalaman dengan ‘the whiteness’ yang dimiliki mereka. Mereka mempunyai semacam fantasi vertical. Ketika sudah mengalami ‘the whiteness’ dari orang kulit putih secara sosial mereka terangkat derajatnya. Mereka begitu bahagia ketika ada seorang kulit putih yang mencintainya. Itu menandakan bahwa mereka pantas dicintai orang kulit putih dan fantasi mereka membuat mereka mengamini bahwa mereka dibawah derajat orang kulit putih. Itulah sebuah fantasi nilai yang dikonstruksi oleh orang-orang kulit putih. Fantasi di sini berarti sebuah angan-angan bahwa mereka itu superior dan angan-angan itu dikonstruksi oleh orang-orang kulit putih. Coba kita lihat kembali apakah kecantikan orang kulit putih itu sebuah konstruksi sosial. Atau memang mereka cantik secara alami. Atau jika dilogikakan begini, orang kulit putih sebenarnya secara esesnsial, natural dan alami memang cantik dan konstruksi itu dasarnya adalah kecantikan alami tersebut. Jika memang mereka cantik secara konstruktif maka mereka tidak akan diamini setelah muncul pemikiran poskolonial. Coba kita tanya kepada diri kita masing-masing, setelah kita membaca pemikiran poskolonial apakah kita masih mengakui bahwa mereka cantik karena konstruksi atau memang cantik secara esensial?

          Apakah benar kita tidak bisa keluar dari nilai konstruksi sosial. Jika dilogikakan bahasa adalah sebuah pelabelan dan konstruksi bahasa itu secara sosial jadi bisakah kita keluar dari pemikiran kita keluar bahasa? sehingga kita bisa keluar darnilai konstruksi sosial?

          Kita seharusnya membuka ruang bagi pemikiran kita untuk sebuah nilai esensial. Setiap entitas memiliki aura yang tidak bisa dibahasakan. Dan aura bukanlah sebuah konstruksi sosial. Subjek yang memiliki nilai aura akan diamini oleh semua yang melihatnya. Orang yang memiliki aura kecantikan alami akan diamini bahwa dia cantik bagi setiap orang yang melihatnya. Orang yang superior secara esensial akan diamini oleh setiap orang yang mengenalnya. Tanpa menggunakan bahasa kita bisa mengenali nilai itu. Bahasa mengekang sebuah makna realitas. Dalam film bejudul parfum ada monolog Grenouille yang intinya berkata bahwa, “Aku mencium begitu banya bau harum di dunia ini. Dan bahasa tidak bisa mewakili bau harum yang aku cium, sehingga aku tidak bisa mengatakannya”. Artinya dimanakah nilai esensial itu berada? nilai esensial itu berada di luar bahasa sehingga kita tidak bisa membahasakannya. Dia berada dalam ruang yang tidak tersentuh bahasa dan hidup di dalam alam pikiran kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Laman