Oleh : Yongky
Manusia
memiliki nilai esensi yang murni lahir dari entitas manusia. Nilai esensi
manusia di dalam era modern yang serba komoditas dan mengatasnamakan ekonomi
membuat kesadaran manusia lupa akan nilai esensinya. Apakah sebenarnya arti manusia?
Manusia bukanlah objek dari kehidupan yang digerakkan oleh sebuah sistem
produksi. Tetapi manusia adalah subjek yang menentukan cara produksi yang
esensial. Manusia memerlukan sesuatu karena memang dia butuh, manusia melakukan
sesuatu kareana dia suka, manusia bekerja karena dia berdedikasi pada
pekerjaannya. Inilah sisi-sisi kemanusiaan manusia.
Saya langsung menuju ke tataran
praktis. Ketika kita berhubungan sosial antar sesama manusia, apakah yang
mendasari hubungan tersebut? Kita perlu memikirkan sebuah kesadaran kita.
Adakah sebuah entitas yang menghubungkan hubungan sosial kita? Jika kita
menemukan sebuah entitas yang menghubungkan kita adalah sebuah komoditas yang
mempunyai nilai tukar, hal inilah yang membuat manusia kehilangan sisi kemanusiaannya.
Sisi nilai kemanusiaan muncul ketika tidak ada representasi yang memediasi
hubungan kita dengan orang lain. Ketika kita menyentuh sebuah realitas,
sentuhan langsung tanpa perantara itulah yang disebut nilai esensi manusia.
Seseorang menjadi kehilangan sisi
kemanusiaannya jika representasi yang adalah komoditas itu menjadi suatu
pandangan yang membuat manusia terjebak dengan pandangan itu. Pandangan bahwa
manusia itu akan kaya dan makmur jika dia bisa menghasilkan komoditas yang
mempunyai nilai tukar. Sehingga semakin produktif dalam menghasilkan komoditas
semakin makmurlah ia. Akankah kita terjebak dengan pandangan seperti itu? Kalau
kita dengan pandangan itu maka kita telah digerakkan oleh sebuah sistem
produksi komoditas. Komoditas menjadi hal utama yang kita kejar untuk
menghasilkan kemakmuran, sehingga pandangan kita akan selalu menjurus kepada
uang. Kita telah menjadi objek yang digerakkan oleh sistem bukan lagi menjadi
subjek yang sadar.
Kita juga harus bisa membedakan
dengan tegas yang mana ilusi dan yang mana esensi. Kadang kita menjadi seorang
schizophrenia ketika kita tidak bisa membedakannya, kita telah kehilangan
kemampuan untuk menggerakkan diri kita sendiri. Sebuah ilusi adalah sebuah
konstruksi sosial, atau sebuah angan-angan hasil dari sebuah konstruksi. Dia
tidak datang secara alami tetapi datang dengan dihadirkan dengan berbagai
perencanaan dan pembentukan nilai-nilai. Sedangkan esensi adalah sebuah entitas
yang hadir secara natural tanpa sebuah dikonstruksi tetapi dialah yang mengkonstruksi.
Esensi adalah sebuah entitas murni bukan entitas artificial atau hasil
bentukan/konsrtruksi. Ilusi dan esensi ini yang membuat kita menjadi objek
ataukah menjadi subjek? Nilai-nilai esensi manusia menjadikan manusia seutuhnya
tetapi nilai ilusi menjadikan manusia menjadi mesin tanpa kesadaran.
Dalam kehidupan modern yang serba
individual dan materialis kita dituntut seakan-akan materi lah yang kita kejar
dengan berusaha sekeras-kerasnya meskipun kita tidak suka dengan pekerjaannya.
Ruang hidup kita seakan-akan memberikan porsi yang mendominasi pada segi
ekonomi dan materi dengan mengesampingkan sisi-sisi humanis. Kita mengikuti
pandangan ilusi tersebut bahwa manusia yang bahagia adalah manusia yang
memiliki banyak materi atau uang. Kita berhubungan baik dengan seseorang karena
ekonomilah yang melandasinya. Pandangan ilusi-ilusi tersebut membuat kita
terjebak dengan yang namanya nilai uang. Padahal uang itu tidak berharga ketika
kita tidak membuatnya berharga. Uang tidak lagi berharga ketika hubungan relasi
sosial antar manusia dilanadasi oleh sisi-sisi kemanusiaan seperti kasih
sayang, saling menghormati, saling menghargai dan saling berbagi.
Rasanya sulit untuk menemukan
manusia yang seperti itu. Inilah cara pandang yang saya tawarkan kepada para
pembaca. Kalau kita sulit menemukan, kenapa kita menutup kemungkinan untuk
menemukannya pada diri kita. Dalam menjamah sebuah realitas sosial kita tidak
memerlukan sebuah representasi, kita langsung memiliki akses dan kuasa untuk
menjamahnya. Contohnya adalah ketika kita meminta maaf kepada seseorang,
meminta maaflah secara manusia tanpa perantara/representasi apapun kecuali
bahasa. Kita harus mulai mendasari hubungan sosial kita dengan orang lain
dengan nilai-nilai esensi kemanusiaan. berinteraksi dengan seseorang karena
kita memang ingin berinteraksi dengan orang tersebut. Kita berinteraksi dengan
orang tersebut karena kita memang suka berinteraksi dengan orang tersebut.
Inilah sisi-sisi kemanusiaan yang
harus kita sadari dan aplikasikan untuk menjadi seorang manusia seutuhnya.
Seorang manusia yang tidak digerakkan oleh sistem atau eksistensi apapun yang
menguasainya. Nilai kebutuhan, kebahagiaan dan kenikmatan dalam menjalani hidup
harus di dasari oleh sebuah esensi. Harus didasari oleh sebuah entitas yang
bukan artificial tetapi sebuah entitas yang murni bukan fantasi. Pada saat itu
juga ketika kita mulai menyadari sisi kemanusiaan ini kita tidak akan pernah
mempunyai sebuah tuntutan yang dibuat oleh sosial tetapi secara natural
tuntutan itu hadir. Kitalah seorang manusia yang utuh yang menjadi subjek utuh
atas diri kita sendiri dan realitas sosial.